Contents
Cinta Beda Dunia
Chapter 1
Katarak Kongenital, sudah sepuluh tahun sejak kata-kata dokter itu terngiang-ngiang di dalam ingatannya.
Ia tak pernah menyangka jika hidupnya akan seperti ini, hidup dengan kedua mata yang tak bisa jelas memandang indahnya dunia.
Tak bisa juga mengira-ngira dimana letak cinta dan jiwa bersama selamanya. Ia bahkan tak bisa melihat dengan jelas bagaimana wajahnya sendiri.
Seringkali, ia diam begitu lama di depan kaca rias di dalam kamarnya, ia raba-raba benda-benda apapun yang ada di sekitarnya,sehingga ia dapat tahu jika itu memang kaca riasnya.
Apa yang ada dipikirannya adalah, bagaimana bentuk wajahnya. Apakah cantik? Atau kah buruk rupa? Di dalam rumahnya ia sering ditemani pembantu yang bernama Iyu, pembantu yang sering membantunya dikala susah seperti ini.
Iyu, sangat prihatin dengan keadaannya, sehingga hampir setiap waktu iyu berusaha memberikan yang terbaik bagi dirinya.
Bagi iyu, ia adalah peri kecil yang sedang lunglai dan butuh kasih sayang. Sehingga dalam pikirannya, iyu menganggap dirinya seperti anak sendiri.
Ibunya sudah meninggal sejak melahirkan dirinya, ia tak pernah tahu suara ibunya, wajah ibunya, dan harum tubuh ibunya. Yang ia tahu, hanya cerita-cerita sekilas dari ayahnya yang pemabuk dan tentunya lebih sering iyu yang menceritakan tentang bagaimana sosok ibunya.
Kepedihannya pun menjadi sangat lengkap, ketika sang ayah adalah sosok angkuh dan kasar, hampir sampai tujuh belas tahun ia sekali pun tak pernah mendapat kasih sayang dari ayahnya. Sang ayah lebih menganggap ia sebagai benalu yang seharusnya tak pernah terlahir di dunia ini.
Melihat kepahitan itulah ia membesarkan sedari kecil sering menangis setiap malam. Doa-doa ia lantunkan untuk kebahagiaan dirinya. Bagi iyu keteguhan dan tanggung jawab ini adalah takdir yang ia tempuh untuk menjaga dirinya, ibunya yang sejak dulu baik terhadapnya adalah jawaban akan kebaikan yang selama ini diberikan oleh iyu.
Sehingga ia tak pernah sekalipun menganggap jika nasibnya sebagai pembantu adalah jalan yang buruk, justru sebaliknya ini adalah jalan paling baik yang Tuhan berikan untuknya. Jalan untuk menjaga seorang gadis remaja berumur tujuh belas tahun bernama Yura.
Yura sangat paham jika dihidupnya ini, ia sangat membutuhkan sosok iyu. Sehingga tak pernah sekalipun di dalam lubuk hatinya ia lontarkan kebencian di hadapan iyu. Sosok iyu adalah ibu baginya, perempuan tua itu adalah satu-satunya kebaikan yang ada di dalam hatinya.
Sebab ia tak dapat melihat hidup ini dengan jelas, tak dapat pula menerima kasih sayang dari ayahnya. Yura selalu berusaha menerka-nerka bagaimana cantiknya pelangi, saat iyu mengatakan itu kepadanya.
Ia tak pernah tahu bagaimana bentuk gedung, jalanan, toko-toko buku, pensil, handphone bahkan ia tak pernah jelas tahu bagaimana wajah iyu yang selalu menjaganya.
Ia hanya bisa menerka-nerka, dan membayangkan jika iyu adalah sosok yang cantik juga sosok perempuan yang selalu menerima kebaikan tanpa pamrih. Begitulah Yura, gadis pengidap katarak kongenital, sebuah penyakit yang langka, yang menyerang sosok bayi mungil tanpa dosa.
"Kamu harus menerima ini dengan lapang dada, Nak," kata-kata iyu yang paling diingat oleh yura. Bagaimana ia memberikan nilai-nilai kebaikan tanpa harus berjanji kepadanya.
Hampir setiap saat Yura berusaha memaham keadaannya ini, bagaimana ia harus menerima takdir dengan hidup seperti ini. Pernah suatu kali, ia berjalan memberanikan diri di sekitar rumahnya, tak sampai beberapa saat ada anak-anak di kompleks rumahnya lalu menghina yura.
Mengatakan jika yura adalah perempuan pembawa sial keluarga. Sejak saat itu juga yura tak berani untuk keluar rumah sendirian. Pembantunya iyu selalu menemaninya, setia pagi dan malam.
Bahkan iyu seering kali membacakan dongeng-dongeng pengantar tidur, sebelum yura tertidur pulas. Iyu ingin menjadi sosok ibu bagi dirinya, meskipun iyu tahu sosok ibu yang asli tetap akan selalu yura ingat sepanjang masa.
Meskipun yura tak pernah sekalipun bertemu bahkan melihat wajah ibunya itu, iyu selalu bercerita tentang kebaikan-kebaikan ibunya kepada yura. Bagi iyu, kebaikan itulah yang menjadi obat luka dari kehidupan yura sampai saat ini.
"Ibu Iyu?" suara lirih itu memanggil dari dalam kamar.
"Ibu?" suaranya semakin lirih, sepertinya yura sedang mengalami kejadian malam ini.
Dengan tergesa-gesa iyu beranjak ke dalam kamarnya, dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan, sebab usianya yang memang sudah tak muda lagi. Ia buka pintu kamar itu, dan mendapati jika yura berdiri di dekat jendela kamarnya, lalu seperti ketakutan menunjuk keluar jendela.
"Kenapa kamu?" iyu menarik badan yura, dan perlahan mendudukkan tubuh yura di kasurnya.
"Ada seseorang tadi di luar jendela! Seseorang itu mengetok-ngetok kaca jendela, Bu!" dengan kedua mata yang tak jelas melihat, tentu yura hanya bisa menerka-nerka siapa yang berada di luar jendela itu.
"Kamu yakin, Nak?" iyu memastikan apa yang dirasakan oleh yura.
"Yakin!" jawab yura dengan tegas.
Dengan keadaan yang sedikit takut, iyu berdiri dan samar-samar mencoba melihat di luar jendela itu.
Siapa tahu dapat ia temukan siapa orang di luar jendela itu. Tubuhnya keringat dingin, sebab jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pandangi seluruh yang ada di luar jendela itu. Hingga sampai ia lihat sosok cantik, di dekat pohon tua yang ada di dekat kamar yura. Sosok cantik itu tersenyum manis ke arah iyu.
Iyu ketakutan dan hampir seluruh badannya gemetar. Sampai sosok itu mulai mndekat lagi ke jendela di kamar yura. Sedangkan yura yang tak bisa melihat hanya bisa diam dan meraba-raba sekitarnya.
"Iyu? Kamu masih ingat aku?" wajahnya pucat dan rambut panjang lurus sampai ke ujung tanah. Bibirnya merah dan kedua matanya terlihat melirik ke arah yura yang sedang kebingungan.
"Nyonya Kanja? Apakah benar ini nyonya? Apakah saya hanya bermimpi? Apakah ini hanya ilusi nyonya?" dada iyu terasa sesak, sebab dengan seketika sosok itu masuk ke dalam tubuhnya. Iyu kehilangan kesadaran, dan dengan seketika ia benar-benar tak lagi menjadi sosok dirinya sendiri.
Yura yang tak melihat apapun hanya sedikit mendengar jika iyu sedang berbicara dengan seseorang. Pembicaraan yang ia tak begitu jelas terdengar.
"Ibu iyu sedang bicara dengan siapa?" tanya yura begitu polosnya.
"Anakku?" iyu mendekat, yura masih belum tahu jika yang ada di dalam tubuh iyu adalah sosok perempuan bernama kanja.
Siapakah Kanja? Belum sempat selesei berbicara, ia telah seluruhnya di dalam kekuasaanya. Yura hanya bisa diam, ia menganggap iyu benar-benar peduli dengannya. Wajahnya tersenyum, saat kedua tangan iyu menyentuh pipinya. Dengan lugu juga yura memegang kedua tangan iyu yang menyentuh pipinya.
"Anakku, kamu sudah besar dan cantik ternyata," kemudia iyu mencium pipi yura dengan manisnya.
"Maafkan ibumu ini, yang gak bisa menjagamu, yang gak ada di sampingmu sampai saat ini," iyu seketika menangis. Iyu atau kanja? Keduanya sebenarnya menyaut dengan satu kesatuan cinta.
"Maksud ibu apa? Kan selama ini ibu sudah ada di samping yura? Kok tiba-tiba bilang begitu seh? Yura jadi bingung!"
"Nak?" sekali lagi iyu mencium pipi yura, dan sekarang bahkan lebih lama lagi dari ciuman sebelumnya.
"Ibu kenapa? Apa ibu benar-benar takut kehilangan yura?" kemudian yura berusaha bangun dan meraba-raba sekitar kasurnya, dengan temaram lampu yang memudar.
"Bukan lagi takut kehilanganmu nak, ibumu ini tak ingin jauh darimu lagi!" yura semakin bingung dengan jawaban iyu. Ia akhirnya paham, ada yang aneh dengan sosok iyu malam ini.
"Ibu kenapa seh? Aku gak kemana-mana, aku selalu dengan ibu loh!"
Saat yura berhasil bangun, ia berusaha membalikkan badannya, dengan baju tidur berwarna merah jambu, yura sebenarnya terlihat begitu cantik malam ini. Saat itulah iyu tersadar, setelah ada angin kencang yang datang tiba-tiba dan menyadarkan dirinya sendiri.
Melihat yura yang berusaha berjalan menuju pintu keluar, iyu bergegas dengan cepat sekali dan memegang telapak tangan yura seketika.
"Ibu tadi kenapa seh?" yura bertanya lugu.
"Ibu kenapa, Nak?" iyu bingung dan mengusap keringat yang berkucuran di jidadnya.
"Tadi ibu bilang takut kehilanganku, ibu juga bilang maaf gak bisa menjaga yura, padahal selama ini yang menjaga yura hanyalah ibu seorang kan? Ibu gak bohong kan ke yura?" iyu melihat raut wajah yura berusaha menahan gelombang air matanya keluar.
Dan seketika itu pula iyu ingat, barusan ibu kandung yura datang, sepertinya ia sedang ingin bertemu dengan anaknya. Ia tak katakan apa yang terjadi dengannya barusan, iyu hanya berusaha tegar dan benar-benar merasa kasihan dengan gadis kecil ini.
"Bukan apa-apa nak, ibu gak pernah bohong sama yura! Yura percaya kan sama ibu? Ibu tadi hanya ingin yura tahu, jika harta yang ibu punya saat ini hanyalah kamu nak. Ibu gak bakal bernai menyakiti hatimu yang tulus ini," setelah itu iyu merangkul tubuh yura penuh haru.