Contents
Bayangan Kita
Chapter 1
“Aku pernah begitu mencintai, tentu dengan sungguh. Menjaga sedemikian rupa hingga ku lupa mencintai diri sendiri pun aku tak bisa”. Kata-katanya yang masih membayangiku sampai kini. Aroma rintik hujan malam ini membawaku kembali mengenangnya. Ia yang pernah ku cinta.
Setelah hampir bertahun-tahun lamanya kami tidak bertemu membuat jiwaku sesak akan rindu kampung halaman. Tanah di mana masa kanak-kanak kami bermesraan dengan lumpur di pipi, atau pelukan matahari dengan eratnya menerka suatu cerita yang mungkin ‘kan jadi lelucon saat pertemuan dewasa kami. Tahun ini, di usiaku yang sudah tak remaja lagi, ku putuskan untuk berbalik dan memulai karir baru ku disini.
Di sebuah desa pinggir hiruk pikuk kota, berhiaskan ilalang yang tumbuh meninggi, bunga seruni yang menari bersama angin dan sayup-sayup suara padi ditumbuk di seberang sana sungguh terasa. Sungguh aku rindu. Bersama kotak-kotak koper usang yang ku bawa dengan erat dari genggaman perlahan-lahan terlepas. Tanganku meninggi ke angkasa—seolah ingin menyapa senja yang bergaun emas hari itu. Anggun, berselimutkan awan dan kicauan burung pipit yang mencari sang induk.
“Aku jatuh cinta” bisikku pelan.
“Atau mungkin bila beruntung, aku akan benar-benar menemukannya disini” hal yang kuyakini.
Di ujung hamparan sawah sana, ku terheran, mendapati beberapa anak berkumpul dengan tawa senyap. Dengan seorang gadis yang mengurai rambutnya panjang. Begitu aku berusaha untuk menelisiknya, tiba-tiba terdengar suara yang begitu khas di ingatanku. Suara lembut itu..
“Andiiii……!!!!!!!” suara lantang memanggilku dari kejauhan membuyarkan lamunanku. Segeraku menengok mencari-cari muasal suara itu.
“Tari?” sesosok perempuan ranum memakai terusan berwarna coklat muda tiba-tiba mengoyak ingatanku.
Ia adalah sahabat masa kecil ku dulu dengan rambut pendek dan poninya yang terbelah ke kanan, selalu berbaju longgar dengan celana jeans pendek mirip seperti seorang lelaki, kini sungguh berbeda. Alisnya yang tipis dan lesung pipinya menyadarkanku bahwa benar ialah Tari sahabat kecilku.
“Apik tenan gayamu sekarang, Mas” suaranya yang khas medok Jawa memulai perbincangan kami setelah mataku lama terbelalak menatapnya.
“Ooo..lah iyoo pasti. Aku sik harus berpenampilan seperti mereka di negeri sana le” aku tetap gemas memanggil dengan nama kesayangan masa kecil ‘Tole’ untuknya karena dia berperawakan seperti laki-laki.
“Ooo semprul! aku sik udah berubah, Mas. Mari ku antar kau ke Mak Endah. Jangan- jangan kau lupa jalannya.” Parasnya boleh berbeda, namun geguyon khasnya memang tak pernah berubah yang mana mungkin aku lupa jalan pulang.
Kuturuti langkahnya menyusuri perkampungan warga yang masih asri seperti dahulu. Rumah yang berornamen kayu, dinding-dinding yang berhias topi untuk bertani dan gerabah menguning yang merambah dari halaman warga hingga pinggir jalan. “Desa ku ini memang tetap asri dan tak banyak berubah rupanya” gumamku dalam hati.
Aku selalu percaya bahwa hidup ini adalah tak ubahnya seperti sebuah pencarian dalam labirin. Di mana kita terus mencari-cari kunci pembuka untuk kita masuki ruang-ruang baru dan menetap bila telah jatuh—seperti kisah cintaku. Bahkan hingga kini aku belum menemukan yang pasti. Tak terasa langkahku telah melewati pagar kecil yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Ku lihat wanita berkerudung putih menengok dari jendela dan tersenyum.