Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

  • Chapter Tidak Tersedia

KLAKLIK 

Inspiration

kyai syafii ulama Pekalongan

Narasi Film Dokumenter Kyai Syafi’i KYAI SYAFI’I karya Teguh Santoso ULAMA PEJUANG DAN PENDIDIK RAKYAT MASJID JAMI’ ASY-SYAFI’I yang terletak di Kelurahan Pringlangu, Kecamatan Pekalongan Selatan, kini telah menjadi saksi sejarah yang tak terlupakan bagi masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Betapa tidak? Tepat di belakang masjid agung itu, terdapat sebuah makam keramat yang banyak diziarahi orang dengan penuh ketakziman. Itulah makam seorang ulama besar yang telah menjadi warisan masa lampau yang membanggakan. Itulah makam Kyai Haji Syafi’i bin Abdul Madjid, atau lebih dikenal dengan nama Kyai Syafi’i. BAGI MASYARAKAT PEKALONGAN DAN SEKITARNYA, Kyai Syafi’i merupakan sosok ulama pejuang dan pendidik yang sangat dicintai rakyat. Suri tauladan serta kepahlawanan beliau benar-benar telah menghunjam dan melekat dalam hati masyarakat Pekalongan selamanya. Nama Kyai Syafi’i tak pernah bisa dilepaskan dari hiruk-pikuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Nama beliau selalu melekat manakala ingatan masyarakat Pekalongan melayang kepada peristiwa pertumpahan darah yang terjadi pada tanggal 3 Oktober 1945 di Markas Kempetai atau Markas Polisi Militer Jepang yang terletak persis di seberang Lapangan Kebon Rodjo atau Monumen Kota Pekalongan. PADA MASA ITU, walaupun penjajah Jepang telah diluluhlantakkan oleh pasukan sekutu dalam Perang Dunia II, walaupun bom atom telah membumihanguskan kota- kota Nagasaki dan Hiroshima, walaupun Bung Karno dan Bung Hatta telah mengumandangkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, namun tentara Jepang sepertinya tak mau beranjak dari bumi pertiwi ini. Di Kota Pekalongan, tentara Jepang masih tetap bercokol dan siap siaga mengangkat senjata mempertahankan markas mereka, yaitu Kempetai atau Markas Polisi Militer Jepang. KENEKATAN PENJAJAH JEPANG ini membuat murka masyarakat Pekalongan. TKR (Tentara Keamanan Rakyat) bahu-membahu bersama pemuda–pemuda Pekalongan pun cancut tali wanda, bertekad untuk memaksa militer Jepang secepatnya menyerahkan senjata tanpa syarat. Di sinilah keteladanan serta kepeloporan Kyai Syafi’i tampil mengemuka. Bersama-sama dengan Kyai Siraj, seorang ulama karismatik dari Kelurahan Kergon, beserta sejumlah tokoh lainnya, Kyai Syafi’I meminta Presiden Soekarno untuk segera mengukuhkan Mister Besar, yaitu R.M. Soeprapto, sebagai Residen Pekalongan yang pertama pasca kemerdekaan. Pengukuhan ini penting untuk memaksa militer Jepang agar segera menyerahkan kekuasaan kepada Sang Residen sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di Pekalongan. MAKA, untuk memberi tekanan psywar kepada militer Jepang, diadakanlah rapat akbar yang pertama di alun-alun Kota Pekalongan. Inilah momentum paling penting dalam sejarah pembebasan Pekalongan dari belenggu kekuasaan Jepang. Sehingga tepat pada hari Kamis, 27 September 1945, militer Jepang pun secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada Mister Besar, R.M. Soeprapto, sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di Pekalongan. Setelah itu, pada hari Sabtu 29 September 1945, sekitar pukul 07.30 pagi, diselenggarakanlah arak-arakan pawai untuk menyambut kemerdekaan Indonesia di Pekalongan. Arak-arakan itu diikuti oleh ribuan orang dan panjangnya mencapai lebih dari 3 km. BEBERAPA HARI KEMUDIAN, yakni tanggal 3 Oktober 1945, sehabis shalat Subuh, halaman rumah Kyai Syafi’i yang terletak di Dukuh Kemisan (?) sudah dipenuhi oleh ribuan orang yang berasal dari kecamatan Doro, Kedungwuni, Kajen, Wonopringgo, Pekajangan, dan Pekalongan. Semuanya tumpah-ruah memadati halaman rumah kyai karismatik itu. Mereka berkumpul dan meminta didoakan sebelum berangkat menuju Markas Polisi Militer Jepang atau Markas Kempetai. Menurut salah seorang saksi mata, Lukman Hakim, warga Pringlangu Gg. 4, barisan pemuda itu memenuhi jalan-jalan, mulai dari depan rumah Kyai Syafi’i hingga ke Bendo Buaran dan ke arah utara sampai sekitar Kelurahan Medono. NAMUN, ternyata usaha–usaha pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang itu tidak sepenuhnya berjalan dengan mulus. Militer Jepang rupanya masih ingin memegang kendali markas militernya dan tetap ngotot tak mau menyerahkan kekuasaan dan persenjataannya. Tak pelak lagi, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan pemuda-pemuda Pekalongan marah besar. Dengan membawa bambu runcing serta perlengkapan persenjataan seadanya, mereka mengepung Markas Kempetai di seberang Lapangan Kebon Rodjo itu. Mereka menunggu komando dari perwakilan Pekalongan yang sedang berunding dengan pimpinan militer Jepang. DAN ENTAH SIAPA YANG MEMULAI, tiba-tiba meletuslah pertempuran yang dramatis. Para serdadu Jepang dengan senapan mesin kaliber besar, yang dikenal dengan nama mitraliur, mengamuk dan menghujani para pejuang Pekalongan dengan timah panas. Korban pun berjatuhan, baik dari kalangan pemuda maupun TKR. Kontan saja, Kyai Syafi’i bersama Kyai Siraj yang berada di garda depan, terus menerus mengobarkan semangat jihad kepada para pejuang dan memberikan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Dan pertempuran yang tak seimbang itu telah menyebabkan 37 pejuang gugur sebagai syuhada dan 12 lainnya luka-luka. Namun, banyak pula serdadu Jepang yang bertumbangan disapu oleh para pejuang kita yang menang dalam jumlah. AKHIRNYA, tepat pada tanggal 7 Oktober 1945, militer Jepang pun takluk dan menyerahkan persenjataannya kepada perwakilan pemerintah Indonesia di Pekalongan. Jepang hengkang dari Markas Kempetai. Dan Markas Polisi Militer Jepang itu kini telah dirobohkan dan diubah menjadi masjid, bernama Masjid Syuhada, untuk memperingati para pahlawan kita yang gugur sebagai syuhada pada peristiwa 3 Oktober 1945. Sedang di atas area di seberang masjid itu yang dahulu bernama Lapangan Kebon Rodjo kini telah dibangun sebuah monumen, dan diberi nama Monumen Kota Pekalongan. BAGI MASYARAKAT PEKALONGAN DAN SEKITARNYA, Kyai Syafi’i memang merupakan sosok ulama pejuang dan pendidik yang sangat dihormati rakyat. Beliau dilahirkan tahun 1908 di Dukuh Kemisan yang sekarang termasuk wilayah Kelurahan Kradenan. Kedua orang tua beliau, yaitu KH Abdul Madjid bin Katidjoyo dan Hj. Ruqoyyah, merupakan tokoh-tokoh agama yang karismatik. Kyai Syafi’i memiliki beberapa saudara, di antaranya ialah H. Mawardi, H. Sya’ban, H. Sausari, dan H. Khulari. Beliau juga mempunyai dua orang istri setia, yaitu Ibu Shofiyah dan Ibu Munipah. SEMASA KECIL, Syafi’i belajar agama dari ayahnya sendiri yaitu KH Abdul Madjid, pendiri Masjid Jami Pringlangu yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Jami’ Asy-Syafi’i. Menginjak masa remaja, Syafi’i pun nyantri di beberapa pesantren, antara lain Pesantren Kempek Cirebon, dan juga di Pesantren Kaliwungu serta Pesantren Tebuireng. Sebetulnya, semenjak kecil Syafi’i telah dijadikan anak angkat oleh Haji Nahrowi yang masih merupakan kerabat dekatnya. Itulah sebabnya, usai menyelesaikan masa belajar di pesantren, Syafi’i kemudian dibawa oleh salah seorang saudara Haji Nahrowi untuk belajar agama di Kota Suci Makkah Al-Mukarromah, di Saudi Arabia. Di sanalah Syafi’i mempunyai kesempatan luas menimba dan memperdalam ilmu agama dari sejumlah ulama besar di Kota Suci tersebut. Di sanalah pula Syafi’i menuai kematangannya sebagai seorang ulama, dan masyarakat pun lantas menyebutnya dengan nama Kyai Syafi’i. SEPULANG DARI MAKKAH, Kyai Syafi’i mengajar Tafsir Al-Qur’an di musholla di samping rumahnya di Dukuh Kemisan, Kradenan, serta mengajar di Masjid Jami’ Pringlangu yang sekarang bernama Masjid Jami’ Asy-Syafi’i. Dan tentu saja, sebagai seorang ulama, beliau mempunyai banyak santri. Salah seorang santrinya yang bernama Anwar, berasal dari Kelurahan Kandang Panjang, mengatakan bahwa pada masa itu semua pemuda di Pekalongan giat mencari ilmu agama. Pengajaran serta suri tauladan yang diberikan oleh Kyai Syafi’i begitu kuatnya membekas di dalam hati para santrinya sehingga manfaatnya masih bisa dirasakan sampai hari tua. PADA ERA AWAL KEMERDEKAAN, setelah penjajah Jepang hengkang dari wilayah Pekalongan, perjuangan Kyai Syafi’i berlanjut dengan merintis lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) di Kabupaten Pekalongan. Selain itu, beliau juga aktif di bidang politik dan menyalurkan aspirasinya melalui Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang merupakan gabungan dari berbagai ormas Islam di tanah air saat itu. Di bawah naungan Partai Masyumi inilah beliau menjadi salah satu anggota DPRD Kabupaten Pekalongan setelah pemilu pertama tahun 1955. Kyai Syafii juga aktif dalam upaya-upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan untuk memajukan para pengusaha pribumi. Maka, lahirlah Koperasi Pembatikan Buaran. Itulah jasa beliau yang tak akan terlupakan oleh masyarakat Pekalongan hingga kini. SEBAGAI ULAMA PENDIDIK, kiprah Kyai Syafi’i memang patut membangkitkan rasa takzim masyarakat, karena beliau merupakan salah seorang pelopor pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah Pekalongan Selatan. Beliau mendirikan sejumlah sekolah, di antaranya Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII) Pringlangu, Sekolah Dasar Islam (SDI) Buaran dan SMP Islam Buaran (Komplek YPI Buaran). Dan Kyai Syafi’i bersama-sama dengan Kyai Haji Akrom Khasani kemudian mendirikan Pondok Pesantren Buaran. Namun, salah satu gagasan spektakuler beliau barangkali ialah Musabaqoh Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional sekitar tahun 1950-an. Dan gagasannya itu kemudian teralisir tahun 1968 setelah sahabatnya, yaitu K.H. Muhammad Ilyas, menjadi Menteri Agama RI. SETELAH BELIAU MENJALANKAN TUGASNYA DENGAN PENUH PENGABDIAN, maka Allah yang Maha Kuasa memanggil pulang hamba-Nya.           Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. (QS. Al Fajr 27-28). Tepat pada bulan Safar tahun 1982, tokoh yang telah berjuang untuk Pekalongan ini wafat di Kota Jakarta dalam usia 74 tahun. Jenazah beliau kemudian diantarkan ke Pekalongan dan dimakamkan di belakang Masjid Jami’ Asy-Syafi’i Pringlangu. Saban tahun, haul beliau diperingati setiap tanggal 11 Rabi’ul Awwal. BAGI MASYARAKAT PEKALONGAN DAN SEKITARNYA, Kyai Haji Syafi’i bin Abdul Madjid memang merupakan sosok ulama pejuang dan pendidik yang senantiasa dikenang rakyat selamanya. Sumber Penulisan: Dirhamsyah, M. 2015. Ensiklopedia Tokoh Pekalongan. Pekalongan: Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Pekalongan. Buletin Atsar (Buletin MAS Simbang Kulon), Edisi 028/2015 SUMBER-SUMBER LAINNYA.

Share