Contents
KLAKLIK
Thriller
Yang Tersisa di Tepi Kali Madiun 1948
September yang Terluka September belum terlalu basah. Kota Madiun masih sama. Napas rakyat jelata mengais kehidupan dari sawah dan perkebunan. Tebu menjadi komoditas utama selain padi. Hampir sebagian wilayah, tanaman berbunga putih menghampar bagai permadani. Pabrik gula peninggalan Belanda di kota itu, masih beroperasi setelah tiga tahun kemerdekaan. Jalur rel kereta lori menghubungkan Kota Madiun dengan kota sekitarnya. Ke arah timur menuju Nganjuk, Jombang hingga Surabaya. Ke arah Barat, Ngawi Solo sampai ke Yogyakarta. Jalur itu mempermudah mobilisasi besar-besaran Pasukan Merah dari berbagai penjuru menuju Madiun. September bagi Dipta, adalah bulan paling luka. Anak lelaki delapan tahun berambut jagung karena sering terbakar matahari, anak seorang guru pengawas yang berdinas di kota Madiun. Jika bisa menghindar, Dipta lebih memilih tak bertemu September seumur hidupnya. Menurut Dipta, bulan itu seharusnya tak pernah ada. Dipta menyesalkan pada penciptaan nama September. Ia berpikir, seandainya bisa ia ingin mengubah September menjadi bulan paling merdu untuk diucapkan, dan paling indah untuk diingat sepanjang hayat. Namun, September tetap saja September, kemarin, hari itu, dan selamanya akan tetap ada. Hari itu, matahari masih ranum. Dipta mengekor ayahnya. Dua orang tamu menggedor pintu bangunan rumah yang mereka tinggali. Ini aneh sekali. Dipta mengerjap dan menyeka mata yang belum lengkap terbuka. Kotoran putih menempel di sudutnya. “Siapa, Pak?” Dipta bertanya. Ia menutup mulutnya saat menguap. Tak ada jawaban dari sang ayah. Wira membuka pintu. Laki-laki berambut hitam dengan wajah sederhana khas pribumi itu memindahkan balok kayu yang menghalangi pintu. Suara balok beradu. Wira meletakkan kayu penghalang di samping pintu, lalu membuka papan kayu besar. Hawa dingin menyergap. Dipta menarik napas agar rongga dadanya diisi udara pagi yang segar. Biasanya, setelah subuh ia berjalan atau berlari kecil di halaman. Sementara sang ayah berlatih silat seorang diri. Pernah Dipta bertanya, jurus apa yang sedang dimainkan ayahnya. Wira hanya terkekeh lalu meminta anak lelakinya untuk berlatih kuda-kuda. Akan tetapi, anak lelaki itu tak tertarik. Ia lebih memilih berlari berkeliling halaman berbunga tanaman ibunya. “Monggo!” Wira menyapa ramah. Tamu dipersilakan masuk. Mereka berpakaian hitam dengan ikat kepala merah. Seorang bertubuh tinggi berwajah hitam. Seeorang lagi menenteng senjata api. Sepatu lars menggema saat kaki-kaki menginjak lantai rumah yang dingin. Dipta bersembunyi di balik punggung Wira. Ia mengintip untuk mengingat sketsa wajah para tamu. Sayangnya, cahaya lampu rumah mereka tak begitu memadai. Anak lelaki itu hanya memapu merekam suara dan mengingat bentuk senjata yang menarik perhatiannya. Sebuah stund gun buatan Belanda. Hanya anggota militer yang bisa memilikinya. Ini hebat sekali, pikir Dipta. Ayahnya dijemput petugas bersenjata. Tentu untuk urusan yang serius demi negara. Tamu itu berbicara dengan Wira. Meski sudah berusaha memasang telinga dengan baik, tetap saja Dipta tak memahami pembicaraan mereka. Hanya beberapa kata yang diingat, ‘Jalan Baru’, Muso, dan ‘Wong Cilik’. Selebihnya, kalimat para orang dewasa itu membingungkannya. "Cepat!” Dipta terkejut mendengar perintah bernada teriakan dari tamu yang membawa senjata. Ujung senapan itu menempel di balik leher ayahnya. Ada sebuah pertanyaan besar bersarang di hatinya. Jika untuk kepentingan ‘Wong Cilik’, mengapa harus dengan senjata dan teriakan? Sepertinya itu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang anggota militer. Wira membungkuk. Wajahnya dekat sekali di mata Dipta. Tatapan mereka bertemu. Dipta membaca sesuatu pada sorot mata ayahnya. Sesuatu bernama bahaya. “Bapak pergi dulu, Mas. Jaga ibu, ya!” bisik Wira lekat di telinga kiri Dipta. Dipta tertegun. Kalimat tegas dari bibir ayahnya masuk ke dalam kepala, lalu dicerna oleh pemikiran kanak-kanak. Menjaga ibu, apakah bisa anak sekecil dirinya menjaga orang dewasa? Anak lelaki itu hanya bisa mengangguk. Wira, lelaki tiga puluh lima tahun bertubuh tinggi dan langsing bergegas mengambil koper berisi berkas pekerjaan di meja kerja yang terletak di pojok ruang tamu. Ia membetulkan letak kaca mata lalu berdiri risau di samping kursi tamu. Tamu bersenjata berdiri siaga di dekat Wira. Sementara yang berwajah hitam berjaga di bibir pintu. Kursi itu berbahan jati berukir khas Jepara. Menurut kisah Wira kepada Dipta, benda tersebut adalah warisan dari leluhur. Barang paling mewah di rumah sederhana selain sebuah radio tua di atas meja kerja. Dipta mengikuti setiap langkah kaki ayahnya. Ia melihat laki-laki itu berkali-kali menyeka keringat di dahi. Anak lelaki setinggi lengan ayahnya berpaling kepada tamu yang menjemput Wira. Dua orang berseragam militer menunggu Wira. Dipta tak mengenal mereka. Bukan laki-laki yang biasanya menjemput ayahnya. “Bapak ke mana?” Dipta mulai khawatir. Ia membaca sebuah situasi yang ia tak tahu harus menyebutnya apa. Langit masih remang-remang. Tak biasanya sang ayah pergi saat hari masih gelap. “Ada panggilan rapat mendadak. Ibu masih masak. Tolong panggilkan!” Wira memberi perintah, kemudian duduk di kursi dengan gelisah. Pandangan matanya menekankan Dipta agar segera melaksanakan tugasnya. Dipta berlari ke dapur. Langkah kaki kecilnya terdengar berkejaran dengan angin pagi. Ia menarik tangan ibunya, Mirah. Wanita itu sedang menjerang air dan menyiapkan kopi untuk tamu Wira. “Cepat, Bu. Cepat!” teriak Dipta mulai cemas. Suara Wira tak bisa ia artikan dengan tepat. Anak lelaki itu kembali berlari ke depan karena tak ingin ayahnya pergi tanpa mencium pipi ibunya. “Sebentar, Le.” Mirah meletakkan cangkir-cangkir yang baru saja dilap dan menyusul puteranya. Ia menyincingkan kain jarik dan berlari. “Ada apa, tho?” lanjut wanita itu. “Aku pergi. Ada rapat mendadak.” Suara Wira terdengar dalam dan berat. Dipta menggengam jemari lelaki itu, dingin dan gemetar. Ia menengadah. Ayahnya menatap sang ibu tanpa kedip. Mata itu, terlalu dalam untuk diselami oleh anak sekecil dirinya. “Tumben, Mas?” Suara Mira terdengar menyayat di hati Dipta. Mata perempuan ayu dengan rambut tersangul acak-acakkan itu membulat. Saat bersitatap, Dipta berlari memeluk kaki ibunya. “Hmm.” Wira mendekat ke arah Mirah dan membisikkan sesuatu di telinga kanan wanita itu. Setelah beberapa detik, ia menepuk pipi Mirah dengan senyum merekah. Dipta bernapas lega. Benar, pikiran buruk yang sempat mengganggunya hilang seketika melihat senyum ayahnya. Tidak akan terjadi apa-apa. Akhirnya, anak lelaki itu juga tersenyum. Bagi Dipta, kebahagiaan orang tua membuat hati tenang dan tentram. Tak pernah ia mendengar keduanya bertengkar. Jika sang ibu mengomel, ayahnya lebih memilih diam dan tersenyum. Setelah ibunya selesai bicara, barulah sang ayah memeluk dan meminta maaf. Wira tak pernah marah, baik kepada Mirah maupun Dipta. Satu-satunya yang membuat nada suara lelaki itu meninggi, jika Dipta terlambat salat atau membentak sang ibu. “Aku pergi dulu.” Wira mencium puncak kepala Mirah. Dipta masih saja tengadah dan memeluk kaki ibunya. Saat tiba gilirannya, Dipta berpesan agar Wira membelikan gula-gula saat nanti pulang. “Cepat!” Suara bentakan itu terdengar lagi. Wira digiring keluar dan dibawa pergi kendaraan yang telah menunggu di pinggir jalan. “Bapak ke mana, Bu?” Pagi belum tinggi, hati Dipta tergerus sepi. Pertanyaan anak lelaki itu tak terjawab. September itu, luka menganga menembus jantung kota Madiun yang lena. *****
Share
.
Show Reply (0) Add Reply